Minggu, 01 Mei 2016

Kasus Luar Biasa Keracunan Pangan

LAPORAN KERACUNAN MAKANAN DI INDONESIA
KEAMANAN DAN SANITASI PANGAN








AMIRAH YASMINUM S               (203136540110612)
ANNDARU YAUMI FITRI                        (203137335157043)
DANELLA MEIRANTY                (203131841295220)
FELICIA AGNES O                                    (203134462825230)
MARCELLUS ARNOLD               (203135739351647)



PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS ILMU HAYATI
UNIVERSITAS SURYA
TANGERANG
2016



ABSTRAK

Pangan merupakan segala sesuatu yang berasal dari sumber daya hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia. Tidak jarang pangan yang kita konsumsi terkontaminasi oleh mikroba atau zat kimia yang dapat menyebabkan keracunan. Keracunan makanan sering kali disebabkan oleh proses pengolahan makanan yang tidak tepat, meliputi proses persiapan hingga proses penyajian. Hal ini dikarenakan pada setiap prosesnya memungkinkan terjadinya kontaminasi silang produk pangan dengan mikroba. Untuk meminimalisir terjadinya kasus keracunan makanan, sebaiknya dilakukan penanganan dan penyimpanan makanan yang tepat. Kegiatan sanitasi merupakan hal penting yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya keracunan pangan, sebab tingkat keracunan makanan yang parah dapat menyebabkan terjadinya kematian. Pencegahan terjadinya keracunan makanan itu sendiri dapat dilakukan oleh individu maupun pemerintah.     
Kata kunci:  Kasus, Keracunan, Kontaminasi, Mikroba, Sanitasi.


1.      PENDAHULUAN
Pangan merupakan segala sesuatu yang berasal dari sumber daya hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia (Fasak, 2011). Pangan merupakan kebutuhan primer bagi manusia untuk pertumbuhan maupun untuk bertahan hidup. Akan tetapi, apabila tidak higienis, penyakit juga dapat timbul melalui pangan atau yang disebut dengan keracunan pangan (foodborne disease). Setiap tahapan pengolahan pangan memiliki risiko penyebab terjadinya keracunan pangan apabila tidak dilakukan pengawasan secara baik dan benar (Santoso et al. 2011).
            Menurut Pusat Informasi Produk Industri Makanan dan Minuman (PIPIMM) (tanpa tahun), keracunan pangan adalah suatu peristiwa tercemarnya pangan oleh zat-zat yang berbahaya seperti mikroba dan zat kimia pada bahan pangan yang beracun. Keracunan pangan terbagi menjadi dua istilah yaitu kasus keracunan pangan dan insiden keracunan pangan. Kasus keracunan pangan adalah suatu keadaan atau kondisi khusus dari masalah yang berhubungan dengan keracunan makanan. Sedangkan, insiden keracunan pangan adalah kejadian-kejadian keracunan makanan yang terjadi dalam suatu kasus keracunan pangan.
            Berdasarkan data dinas kesehatan RI (2015), jumlah kasus keracunan pangan pada 33 provinsi di Indonesia pada tahun 2012 adalah 312 kasus dan meningkat pada tahun 2013 menjadi 233 kasus keracunan pangan. Bahkan menurut WHO setiap satu kasus keracunan pangan yang dilaporkan maka paling tidak terdapat 99 kasus lainnya yang tidak dilaporkan (BPOM RI, 2012). Tingginya kasus kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan ini perlu menjadi perhatian. Oleh sebab itu, diperlukan pemahaman mengenai penyebab dan dampak dari keracunan pangan, khususnya di Indonesia.


2.      KAJIAN PUSTAKA
A. Penyebab Keracunan Pangan
            Secara garis besar, keracunan pangan dapat disebabkan oleh mikroba dan zat kimia. Mikroba ada beberapa jenis, seperti bakteri, kapang, dan virus.
Bakteri yang dapat menyebabkan keracunan antara lain Salmonella, Campylobacter, Listeria, dan Escherichia coli. Beberapa bakteri penyebab keracunan pangan seperti Bacillus cereus mampu menghasilkan racun yang tahan terhadap proses termal. Dengan demikian bakteri ini tidak dapat dimusnahkan melalui proses pemasakan (WHO, 2015). Menurut BPOM (2014), terdapat tiga faktor utama yang menimbulkan KLB keracunan pangan akibat bakteri. Ketiga faktor tersebut antara lain kontaminasi (bakteri patogen berada dalam pangan), pertumbuhan (bakteri patogen mampu berkembang biak dalam pangan dan menghasilkan toksin yang mampu menimbulkan infeksi atau penyakit), dan daya hidup (bakteri patogen mampu bertahan hidup dalam kondisi tertentu dalam pangan selama penyimpanan dan pengolahan).
Bakteri yang menyebabkan keracunan pangan jika dalam kondisi yang tepat, bakteri dapat berkembang biak yang awalnya satu bakteri menjadi dua juta bakteri dalam waktu tujuh jam. Apabila dalam makanan terdapat banyak nutrisi seperti karbohidrat dan protein, serta disimpan pada suhu 5-60oC, maka bakteri tersebut dapat berkembang biak dengan sangat cepat. Kondisi ini sering disebut “zona bahaya makanan”. Itulah sebabnya keracunan makanan sering terjadi pada saat mengolah makanan di musim panas (WHO, 2015).
Mekanisme bakteri yang menyebabkan keracunan pangan dibagi menjadi dua menurut BPOM (2014), yaitu intoksitasi dan infeksi. Intoksikasi merupakan mekanisme keracunan makanan melalui toksin yang dihasilkan oleh bakteri patogen pada pangan. Jadi yang menyebabkan gejala bukan bakterinya, melainkan toksinnya. Sebagai contoh, Bacillus cereus yang menghasilkan toksin yang menyebabkan diare dan muntah. Toksin yang berkaitan dengan gejala muntah bersifat tahan terhadap panas dan pemanasan berulang, proses penggorengan pangan juga tidak mampu menghancurkan toksin tersebut. Sementara untuk infeksi, bakteri patogen mampu menginfeksi korbannya melalui pangan yang dikonsumsi. Penyebabnya adalah bakteri patogen yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang sudah tercemar. Contohnya adalah Salmonella yang terdapat pada bahan pangan mentah (misalnya telur dan daging ayam mentah atau tidak matang sempurna). Penularannya dapat melalui konsumsi pangan hewani yang terinfeksi akibat ketiakhigienisan dan juga antara orang satu dengan orang lainnya. Gejala yang terjadi antara lain diare, kram perut, demam selama 8-72 jam, sakit kepala, mual, dan muntah.
Beberapa jenis bakteri patogen dan gejala yang terjadi akibat keracunan bakteri patogen tersebut menurut Kemenentarian Kesehatan RI (2012) dan WHO (2015) antara lain:
1.      Escherichia coli: kejang perut, pusing, mual, muntah, diare, demam, dan nyeri otot.
2.      Salmonella sp.: kejang perut, mual, muntah, diare, menggigil, demam, dan lemah.
3.      Shigella sp.: kejang perut, diare, menggigil, demam, dan lemah.
4.      Campylobacter jenuni: diare berdarah, nyeri perut, demam, sakit kepala, mual, muntah.
5.      Staphylococcus aureus: mual, muntah, kram perut, sakit kepala, dan demam.
6.      Clostridium perfringens: mual, kram perut intens, demam, dan muntah.
7.      Clostridium botulinum: lelah, lesu, vertigo, pandangan kabur, mulut kering, mata sayu, kesulitan menelan dan berbicara.
8.      Listeria monocytogenous: demam, nyeri otot, mual, diare, sakit kepala, leher kaku, linglung, hilang keseimbangan, gemetar.
Kapang juga dapat menyebabkan penyakit (foodborne illness). Mekanisme kapang dalam meracuni pangan ada dua (Siagian, 2002), yaitu infeksi oleh fungi, atau yang biasa disebut mikosis, dan keracunan yang disebabkan oleh tertelannya metabolik beracun dari fungi, atau yang biasa disebut mikotoksikosis. Mekanisme mikotoksikosis lebih sering tersebar melalui makanan, dibandingkan mikosis yang melalui kulit, rambut, kuku, pakaian, atau angin. Toksin yang dihasilkan fungi (mikotoksin) dapat menimbulkan penyakit antara lain:
Tabel 2.1. Mikotoksin yang sering mengontaminasi makanan
Mikotoksin
Kapang Penghasil
Penyakit yang disebabkan
Bahan Pangan yang Sering Terkontaminasi
Aflatoksin
Aspergillus flavus, A.parasiticus
Kegagalan fungsi hati, kanker hati
Kacang tanah, kacang-kacangan lain, jagung serealia
Asam penisilat
Penicillium Cyclopium,  P. chraceus, P. Melleus
Pembentukan tumor, kerusakan ginjal
Jagung, barley, kacang-kacangan
Ergotoksin
Claviceps purpurea
Kerusakan hati
Serealia
Okratoksin A
A. ochraceus, A. Mellus, A. sulphureus, P. viridicatum
Kerusakan hati
Jagung, barley, kacang-kacangan
Patulin
A. clavatus, P. patulum, P. Expansum
Kerusakan hati, Kanker hati
Apel dan produk-produk apel (cider dan saus apel)
Alimentary Toxic aleukia
Cladosporium spp., Penicilium, Fusarium, Mucor, Alternaria
Sirosis hati, kanker hati
Biji-bijian
Sterigmatosistin
A. regulosus, A. Nidulans, A. Versicolor, P. Luteum
Sirosis hati, kanker hati
Gandum, oat
Zearalenon
Gibberella zeae (Fusarium graminearum)
Kerusakan hati
Jagung dan serealia
Luteoskyrin
P. islandicum
Nekrosis hati, kanker hati
Tepung beras
                                                                                                Sumber: Siagian, 2002
Selain kapang dan bakteri, virus dapat menyebabkan terjadinya keracunan pangan. Gangguan pencernaan yang disebabkan virus memiliki ciri-ciri yang kurang lebih sama dengan gangguan pencernaan yang disebabkan bakteri. Virus dapat menyebabkan gangguan pencernaan melalui aerosol atau kontak langsung dengan orang yang terinfeksi. Contohnya adalah Enterovirus yang menyebar melalui rute fekal-oral, atau virus polio yang dapat menyebabkan gangguan pecernaan, demam, dan kelumpuhan, dan virus hepatitis B yang tersebar melalui kontak langsung dan transfusi darah (Siagian, 2002).
Kontaminasi bahan kimia pada pangan juga bisa terjadi. Menurut FDA (2014), kontaminasi makanan dapat disebabkan oleh bahan kimia seperti benzena, dioksin, etil karbamat, melamin, perkolat, furan, dll.

B. Sumber Mikroorganisme Patogen
            Bahan pangan potensial berbagai sumber mikroorganisme patogen dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2. Mikroorganisme patogen dan sumber bahan pangannya
Mikroorganisme
Bahan pangan
Salmonella
Daging ternak dan daging unggas mentah, susu segar dan telur
Clostridium perfringens
Daging ternak dan daging unggas, makanan kering, herbs, rempah-rempah,sayur-sayur
Staphylococcus aureus
Makanan dingin, produk-produk susu terutama jika menggunakan bahan baku susu mentah
Bacillus cereus dan Bacillus sp.
Serealia, makanan kering, produk-produk susu,daging dan produk-produk daging, herbal, rempah-rempah, sayuran
Escherichia coli
Bahan pangan mentah
Vibrio parahaemolyticus
Ikan segar dan ikan olahan, kerang dan makanan laut lainnya
Shigella
Makanan campuran dan basah, susu, kacang-kacangan, kentang, tuna, undang, kalkun, salad, makaroni, cider apel
Streptococcus pyogenes
Susu, es krim, telur, lobster, salad kentang, salad telur, custard, puding, dan makanan yang mengandung telur
Clostridium botulinum
Makanan kaleng dengan pH>4,6
Yersinia enterocolitica
Daging ternak dan unggas mentah,produk olahan daging, susu dan produk susu dan sayur-sayuran
Campylobacter jejuni
Daging ternak dan daging unggas mentah, susu segar atau susu yang diolah tetapi pemanasannya kurang, air yang tidak diolah
Listeria monocytogenes
Daging ternak, daging unggas, produk susu, sayur-sayuran dan kerang-kerangan
Virus
Kerang mentah, makanan dingin yang ditangani oleh orang yang terkena infeksi
                                                                                                Sumber: Siagian, 2002

3.      PEMBAHASAN
Handoyo (2014) menyebutkan bahwa pada tahun 2013 penyebab kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan di Indonesia berasal dari beberapa hal diantaranya adalah berasal dari masakan rumah tangga mencapai 27,38% (23 kejadian), pangan jasa boga sebesar 16,67% (8 kejadian), pangan olahan sebesar 14,38% (7 kejadian), pangan jajanan sebesar 16,67% (8 kejadian), serat tidak diketahui sumber penyebabnya sebesar 4,17% (2 kejadian). Menurut Sentra Informasi Keracunan Nasional, kasus kematian akibat keracunan pangan pada tahun 2014 sebanyak 855 kasus. Jumlah kasus keracunan pangan yang tercatat ini tidaklah menunjukkan data rill dari kasus keracunan pangan. Hal ini dikarenakan masih terdapat kasus-kasus kecil keracunan pangan yang tidak dilaporkan dan tidak diketahui oleh dinas kesehatan.
Terjadinya kasus keracunan pangan pada umumnya diakibatkan oleh proses pengolahan makanan yang tidak tepat. Selain proses pemasakan, proses persiapan, penyimpanan dan penyajian makanan juga dapat menyebabkan terjadinya keracunan makanan dikarenakan adanya kemungkinan mengalami kontaminasi silang pada makanan. Contohnya adalah makanan yang sudah matang disimpan atau bersentuhan dengan bahan mentah ataupun peralatan yang telah terkontaminasi. Oleh karena hal tersebut, penanganan dan penyimpanan makanan harus dilakukan dengan benar untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya kontaminasi seperti tumbuhnya bakteri yang dapat menghasilkan racun. Selain itu, FDA (2014) menyebutkan bahwa kontaminasi makanan dapat disebabkan oleh bahan kimia seperti benzena, dioksin, etil karbamat, melamin, perkolat, furan, dll.
Selain berasal dari makanan, keracunan makanan dapat disebabkan oleh obat-obatan hal ini dikarenakan pemberian dosis yang tidak tepat atau salah dalam penggunaannya akan menjadikan obat sebagai racun pada tubuh (Aryagunawan, 2013). Keracunan pangan banyak terjadi pada orang dewasa lanjut usia serta pada anak-anak karena memiliki daya tahan tubuh yang lebih rendah atau rentan dan akan memberikan efek yang parah jika terjadi pada lansia yang berusia di atas 65 tahun ataupun bayi.
Kasus keracunan pangan pada umumnya terjadi ketika makanan diproses dalam jumlah besar, seperti makanan untuk pesta yang disediakan oleh katering (Depkes RI, 2010). Hal ini dikarenakan penyediaan makanan dalam jumlah yang besar memerlukan proses pemasakan yang lebih, namun sering kali hal ini diabaikan dan tidak mendapatkan perhatian yang cukup sehingga makanan tidak matang sempurna, padahal proses pemasakan yang tidak baik menjadi salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keracunan pangan. Terdapat dua tipe kasus terjadinya keracunan makanan yaitu common source outbreak dan common source epidemic. Kasus keracunan tipe common source outbreak adalah kasus keracunan yang terjadi akibat keracunan oleh satu sumber makanan yang dominan, sedangkan common source epidemic adalah kasus keracunan yang penularannya terjadi kepada suatu kelompok secara menyeluruh dalam waktu yang relatif singkat.
Kasus keracunan makanan yang disebabkan oleh bakteri pada umumnya terjadi melalui mekanisme infeksi yaitu bakteri tersebut masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang telah tercemar. Misalkan pada es buah yang umumnya mengandung bakteri Salmonella enteritidis dan bakteri Klebsiella pneumonia. Contoh lain adalah suwiran daging pada sup mengandung bakteri Enterobacter hafniae dan jamur Rhizopus sp. Bakteri lain yang memungkinkan terjadinya keracunan makanan adalah Bacillus cereus atau Staphylococcus aureus. Pada umumnya mekanisme terjadinya keracunan makanan oleh bakteri Bacillus cereus adalah melalui intoksikasi yaitu toksin yang dihasilkan oleh bakteri yang masuk ke dalam tubuh sehingga menyebabkan diare dan muntah.
Menurut Abbas (2013) dalam jurnal keperawatan menyatakan bahwa pertolongan pertama keracunan minimal dalam keluarga yang dapat dilakukan diantaranya yaitu pemberian obat anti diare dan obat ketika diare dan muntah, memberikan cairan rehidrasi jika diare dan muntah melebihi 24 jam, menjaga jalan nafas bagi penderita sehingga cukup nyaman untuk bernafas. Tindakan lain adalah pemanggilan ambulance dan jika darurat lakukan evakuasi ke rumah sakit. Sedangkan sumber dari Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER) menyatakan pertolongan pertama jika terjadi keracunan makanan terjadi yang harus dilakukan adalah meminum air putih sebanyak-banyaknya. Obat anti diare sebaiknya dihindari terutama bayi dan anak-anak karena dapat memperlambat eleminasi organisme atau racun-racun dalam tubuh sehingga sebaiknya sesegera diperiksa ke dokter kurang dari 48 jam setelah  keracunan.
Menurut Pratiknjo (2007) mengenai keracunan pangan, proses pencegahan dilakukan dari dua aspek, yaitu individu diri sendiri serta pemerintah. Kesadaran masyarakat akan pentingnya mencegah penyakit dan keracunan sangat penting. Proses pencegahan keracunan makanan yang dinjurkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk setiap individu yaitu:
1.     Mencuci tangan dengan bersih ketika hendak mengolah dan menyantap makanan.
2.     Menghindari kontak bahan mentah dengan makanan matang untuk mengurangi kontaminasi.
3.     Melakukan pemasakan sampai matang sehingga organisme patogen dalam makanan telah mati.
4.     Menkonsumsi segera makanan yang sudah dimasak. Hal ini dikarenakan apabila makanan diletakan pada suhu ruang makan mikrobia akan berkembang lebih cepat.
5.     Menyimpan makanan dalam kondisi dingin untuk mencegah pertumbuhan dan terjadinya kontaminasi patogen.
6.     Jika makanan yang telah dikonsumsi masih tersisa, panaskan kembali makanan tersebut untuk mematikan mikroba yang tumbuh selama penyimpanan.
7.     Menjaga kebersihan lingkungan seperti dapur, piring dan peralatan memasak yang akan digunakan.
Beberapa kejadian keracunan makanan di Indonesia menunjukan bahwa masyarakat Indonesia kurang selektif dalam memilih makanan. Daya kontrol yang lemah dari masyarakat serta pengawasan yang kurang ketat dari pemerintah juga menjadi faktor pendukung terjadinya keracunan makanan di Indonesia. Selain itu, menurut Celina (2008) pencegahan dari masing-masing individu, pemerintah juga harus membantu mengurangi angka keracunan di Indonesia dengan beberapa upaya pencegahan diantaranya:
1.     Adanya upaya perlindungan konsumen secara medis dan yuridis.
2.     Adanya peningkatan wawasan dan pendidikan melalui penyuluhan untuk menghimbau masyarakat agar tidak membeli produk kadaluarsa atau produk dengan kemasan yang sudah rusak.
3.     Menguji produk makanan kemasan secara laboratoris oleh pabrik dan Direktorat Pengawasan Obat dan Makanan (POM). Badan POM harus rutin dan aktif terutama bagi produk yang tidak ada registernya Melalui media yang ada seperti media massa atau cetak, pemerintah perlu memberikan informasi kepada masyarakat mengenai ciri-ciri makanan yang sudah tidak layak dikonsumsi.
4.     Memberikan pos pelayanan untuk penanganan kasus keracunan, tugas pos ini untuk menginformasikan pengenalan dan identifikasi serta faktor penyebab keracunan. Adanya penyuluhan-penyuluhan mengenai upaya pertolongan pertama dan dampak negatif jika menggunakan beragam bahan kimia pada makanan.
Dalam hal menjamin keamanan pangan, pihak yang bertanggung jawab adalah masyarakat, para pelaku usaha dibidang makanan dan pemerintah yang berhak atas wewenangnya. Hal ini dikarenakan pada ruang lingkup keluarga, para orang tua harus menjamin anak-anaknya terjamin keamanan produk makanan yang dikonsumsi. Mengajarkan pola perilaku yang benar untuk mengolah dan menyimpan bahan pangan atau makanan matang. Bagi para pelaku usaha dibidang makanan, terdapat beberapa kewajiban yang diatur dalam pasal 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen, diantaranya yaitu:
1.      Beritikad baik
2.      Memberi informasi yang jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan produk yang dijual
3.      Melayani konsumen dengan tidak diskriminatif
4.      Mutu barang yang diproduksi berdasarkan standar mutu yang berlaku
5.      Memberikan kesempatan pada konsumen untuk menguji produk yang diperdagangkan
6.      Memberi kompensasi, ganti rugi dan ganti rugi jika tidak sesuai kualitas. Dalam hal ini jika terjadi penurunan kualitas mutu makanan dan menyebabkan dampak negatif.
Namun apabila terjadi proses penyimpanan atau pengolahan yang salah dari individu sendiri, maka keracunan tersebut bukanlah salah penjual atau pelaku usaha. Contohnya ketika proses penyimpanan opor dalam kondisi yang tidak baik saat dikonsumsi, maka penjual ayam dan santan bukanlah hal yang bertanggung jawab. Pemerintah juga turut bertanggung jawab dalam menjamin keamanan pangan dibawah Dinas Perindustrian, Perdagangan dan BPOM. Contohnya pengawasan dalam izin pendirian usaha dan kontrol dalam pengawasan barang kadaluarsa atau tidak layak.
4.      KESIMPULAN
Kasus keracunan makanan di Indonesia masih banyak sekali terjadi dan tidak semua kasus itu dilaporkan dan tercatat oleh dinas kesehatan. Keracunan makanan sering kali disebabkan oleh proses pengolahan makanan yang tidak tepat. Proses pengolahan makanan tersebut meliputi proses persiapan hingga proses penyajian. Hal ini dikarenakan pada setiap prosesnya memungkinkan terjadinya kontaminasi silang produk makanan dengan mikroba (bakteri). Penanganan dan penyimpanan makanan yang baik dan benar akan meminimalkan kemungkinan terjadinya keracunan makanan. Proses pencegahan keracunan makanan dapat dilakukan oleh individu dan pemerintah. Kegiatan sanitasi menjadi hal penting yang perlu dilakukan untuk mencegah keracunan pangan, sebab tingkat keracunan yang parah dapat menyebabkan terjadinya kematian.








DAFTAR PUSTAKA
Abbas A. 2013. Home first aid applied by the mother for the treatment of food poisoning for children. Journal of Nursing 3 (2013) 1-6 498.
Aryagunawan G. 2013. Intoksikasi Racun. Universitas Diponegoro.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2012. Laporan Tahunan 2012 Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Jakarta: BPOM RI.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2014. Keracunan Pangan Akibat Bakteri Patogen. http://ik.pom.go.id/v2014/artikel/Keracunan-Pangan-Akibat-Bakteri-Patogen3.pdf [19 April 2016].
Celina TSK. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen. Cetakan  Pertama. Sinar Grafika. Jakarta
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Pedoman Pengamatan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa di Indonesia. Ditjen PPM & PLP: Jakarta.
Dinas Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Menyambut Hari Kesehatan Sedunia 2015: Pilih dan Konsumsi Pangan yang Aman dan Sehat. http://www.diskes.baliprov.go.id/files/subdomain/diskes/Artikel/ARTIKEL%20HKS%202015.pdf [25 April 2016].
Fasak E. 2011. Diversifikasi Konsumsi Pangan Berbasis Potensi Lokal Dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional di Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, Propinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2010. Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Handoyo A. 2014. Studi Kasus Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan di Desa Jembungan Kecamatan Banyudono Boyolali [Naskah Publikasi]. Surakarta: Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
PIPIMM. Tanpa tahun. Pedoman Konsumen mengenai Pangan dan Keamanan Pangan Edisi 1, Jilid 1. PIPIMM. Jakarta.
Pratiknjo L. 2007. Keracunan Makanan Merupakan Salah Satu Indikator Lemahnya Kontrol Pemerintah dan Masyarakat Terhadap Produk Makanan yang Beredar. Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Vol 1 (2) hlm. 30 – 34. http://fk.uwks.ac.id/jurnal/daftar_edisi [19 Apil 2016].
Santoso H. et al. 2011. Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan KLB Penyakit Menular dan Keracunan Pangan (Pedoman Epidemiologi Penyakit) Edisi Revisi Tahun 2011 H Santoso, RB Hapsari, AM Nasir, ed., Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Badan POM. 2014. Sentra Informasi Keracunan (SIKer) Nasional. http://ik.pom.go.id/v2015/ [19 April 2016].
Siagian A. 2002. Mikroba Patogen pada Makanan dan Sumber Pencemarannya. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.
US Food and Drug Administration. 2014. Chemical Contaminants. http://www.fda.gov/Food/FoodborneIllnessContaminants/ChemicalContaminants/default.htm [19 April 2016].
World Health Organization. 2015. Penyakit Akibat Keracunan Makanan. http://www.searo.who.int/indonesia/publications/foodborne_illnesses-id_03272015.pdf [19 April 2016].