Minggu, 11 Desember 2016
Jumat, 09 Desember 2016
Lopis Raksasa, Makanan Khas Pekalongan Dibulan Syawal
Pada hari ke-7 di bulan Syawal, masyarakat Krapyak Kidul Pekalongan selalu memiliki perayaan tersendiri yang biasa dilakukan secara turun temurun hingga saat ini yaitu dengan mengadakan acara Syawalan. Acara ini selalu membuat masyarakat diluar daerah Pekalongan penasaran karena selalu menyajikan makanan yang khas berupa lopis. Lopis yang dibuat tidak sembarang lopis, karena lopis yang dibuat untuk acara Syawalan tersebut memiliki ukuran yang besar dan setiap tahunnya selalu mengalami pertambahan ukuran hingga mencapai 2 meter tingginya, WOW!
Berikut ini adalah video singkat tentang acara Syawalan dan pembuatan Lopis:
https://www.youtube.com/watch?v=7GFs8TxFZuI&t=447s
Berikut ini adalah video singkat tentang acara Syawalan dan pembuatan Lopis:
https://www.youtube.com/watch?v=7GFs8TxFZuI&t=447s
Minggu, 02 Oktober 2016
Budaya Minum Alkohol (술) di Korea
Di Korea, minuman beralkohol yang biasa disebut dengan sul (술) merupakan minuman yang memiliki sejarah yang sangat panjang. Minuman ini sudah lama dibuat oleh masyarakat Korea. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan bangsa Korea mulai mengenal dan mengembangkan minuman beralkohol tetapi kemungkinan besar masyarakat Korea menemukan minuman beralkohol secara tidak sengaja pada zaman kuno akibat terjadinya fermentasi pada buah-buahan dari biji padi-padian yang mengandung gula. Sejak saat itu, masyarakat Korea mulai memproduksi dan mengembangkan minuman beralkohol (Lee Hyo-Gee, 1997: 223).
Sul (술) |
Masyarakat Korea sangat menikmati minum sul bersama teman-temannya karena menurut mereka dengan minum bersama, suasana akan lebih cair dan mereka dapat lepas bicara dengan temannya. Bagi masyarakat Korea, menawarkan sul kepada orang lain adalah bentuk rasa perhatiannya kepada orang lain. Jika ada orang yang tidak dapat meminum minuman alkohol maka ia akan menolak saat ditawarkan alkohol, ia dapat menolak tawaran minum tetapi itu akan membuat suasana menjadi kaku.
Daftar Pustaka
Hyo-Gee Lee. 1997. A History of Traditional Korean Alchoholic Drinks. Pickering, J (peny.). Korean Culture Heritage Seol: Moonhwa Printing Co.
Budaya Makan Orang Jepang
Masyarakat Jepang mempunyai Budaya makan atau pola makan yang masih sangat dijaga oleh masyarakat Jepang sampai dengan sekarang ini. Disetiap daerah, memiliki ciri khas masing-masing. Mulai dari bumbu-bumbu, bahan-bahan masakan, peralatan hingga tata cara dan kebiasaan makan yang sangat dipertahankan oleh masayarakat Jepang.
Di Jepang, pada musim-musim tertentu juga memiliki budaya atau tradisi yang sering dilakukan saat makan. Misalnya, pada musim semi biasanya orang-orang Jepang akan pergi bersama keluarga dan teman untuk menikmati makanan atau minum sake sambil melihat bunga sakura yang mekar pada musim semi.
Di Jepang, pada musim-musim tertentu juga memiliki budaya atau tradisi yang sering dilakukan saat makan. Misalnya, pada musim semi biasanya orang-orang Jepang akan pergi bersama keluarga dan teman untuk menikmati makanan atau minum sake sambil melihat bunga sakura yang mekar pada musim semi.
![]() |
Acara Hanami |
Tidak hanya di musim semi, di musim dingin atau pada saat menyambut tahun baru biasanya menyambutnya dengan acara makan-makan bersama rekan kerja atau teman yang dikenal dengan istilah “Bounenkai” yang berarti “lupakan masa lalu”. Makanan yang dimakan biasanya adalah Kabocha yaitu sejenis labu dan mie soba. Makanan tersebut adalah makanan yang sudah menjadi tradisi untuk dimakan di musim dingin atau menyambut tahun baru. Pada saat bekerja juga orang Jepang biasa membawa bekal yang biasa dikenal dengan Bento.
![]() |
Acara Bounenkai |
Bento |
Kabocha |
Orang Jepang makan dengan menggunakan sumpit dan mangkok. Terkadang ada makanan yang susah untuk diambil dengan sendok pun, orang Jepang tetap mengambilnya menggunakan sumpit. Orang-orang Jepang biasa makan dengan lambat. Mereka diajari untuk menikmati setiap makanan dengan lambat. Karena, makan lebih lambat adalah kunci otak membutuhkan waktu selama 20 menit untuk merasa kenyang.
Peralatan makan, seperti sumpit, mangkuk, dan lain-lain yang digunakan oleh masyarakat Jepang biasanya terbuat dari keramik, porselen, atau kayu yang dipernis dengan urushi. Di rumah keluarga Jepang, setiap anggota keluarga memiliki mangkuk nasi atau sumpit ( hashi ) sendiri, dan tidak saling dipertukarkan dengan anggota keluarga yang lain. Sumpit yang digunakan bisa berupa sumpit yang terbuat dari kayu, bambu, atau sumpit yang sekali pakai.
Peralatan makan, seperti sumpit, mangkuk, dan lain-lain yang digunakan oleh masyarakat Jepang biasanya terbuat dari keramik, porselen, atau kayu yang dipernis dengan urushi. Di rumah keluarga Jepang, setiap anggota keluarga memiliki mangkuk nasi atau sumpit ( hashi ) sendiri, dan tidak saling dipertukarkan dengan anggota keluarga yang lain. Sumpit yang digunakan bisa berupa sumpit yang terbuat dari kayu, bambu, atau sumpit yang sekali pakai.
Hashi (Sumpit) |
![]() |
Peralatan Makan Porselen |
Syafrizal M. 2015. Gambaran Umum Tentang Budaya Makan Di Jepang. Universitas Sumatera Utara: Sumatera Utara.
Sabtu, 01 Oktober 2016
Pengolahan Pangan Dengan Suhu Tinggi
Pengelolahan Pangan yang Bersih |
Pengolahan pangan dengan suhu tinggi ialah pengolahan pangan yang menggunakan panas diatas suhu normal (suhu ruang). Yang dimaksud dengan suhu ruang adalah suhu dalam keadaan ruang yaitu berkisar 27C hingga 30C. Pengolahan pangan dengan suhu tinggi memiliki beberapa macam proses diantaranya adalah:
- Blanching
Blanching sayuran |
Blanching biasanya digunakan sebagai perlakuan pendahuluan suatu proses pengolahan. Proses pengolahan pangan yang menggunakan perlakuan pemanasan pendahuluan dengan blanching, antara lain adalah pembekuan, pengeringan dan pengalengan. Sebagai medium blanching biasa digunakan air, uap air atau udara panas dengan suhu sesuai yang diinginkan. Suhu dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pemanasan tergantung pada bahan dan tujuan blanching. Umumnya blanching dilakukan pada suhu kurang dari 100C selama beberapa menit. Kebanyakan bahan pangan, biasanya blanching dilakukan pada suhu 80C.
Berdasarkan atas proses yang akan dilakukan selanjutnya maka blanching dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Blanching sebagai perlakuan pendahuluan untuk proses pembekuan dan pengeringan.
b. Blanching sebagai perlakuan pendahuluan untuk proses pengalengan.
Berdasarkan atas proses yang akan dilakukan selanjutnya maka blanching dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Blanching sebagai perlakuan pendahuluan untuk proses pembekuan dan pengeringan.
b. Blanching sebagai perlakuan pendahuluan untuk proses pengalengan.
Adapun tujuan blanching sebagai perlakuan pendahuluan untuk masing-masing berbeda. Tujuan blanching sebagai perlakuan pendahuluan untuk proses pembekuan dan pengeringan adalah:
a. Mengurangi jumlah mikroba pada permukaan bahan pangan.
b. Menginaktifkan enzim yang dapat menyebabkan penurunan kualitas bahan pangan.
c. Menghilangkan beberapa substansi pada bahan pangan yang dapat menyebabkan adanya off flavor (flavor yang tidak diinginkan).
d. Mempertahankan warna alami dari bahan pangan
a. Mengurangi jumlah mikroba pada permukaan bahan pangan.
b. Menginaktifkan enzim yang dapat menyebabkan penurunan kualitas bahan pangan.
c. Menghilangkan beberapa substansi pada bahan pangan yang dapat menyebabkan adanya off flavor (flavor yang tidak diinginkan).
d. Mempertahankan warna alami dari bahan pangan
- Pasteurisasi
![]() |
Proses Pasteurisasi |
Pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan yang dilakukan pada suhu kurang dari l00C, tetapi dengan waktu yang bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa menit tergantung pada tingginya suhu yang digunakan. Makin tinggi suhu pasteurisasi, makin singkat waktu yang dibutuhkan untuk pemanasannya. Tujuan utama dari proses pasteurisasi adalah untuk menginaktifkan sel-sel vegetatif mikroba patogen, mikroba pembentuk toksin maupun mikroba pembusuk. Pemanasan dalam proses pasteurisasi dapat dilakukan dengan menggunakan uap air, air panas atau udara panas. Tinggi suhu dan lamanya waktu pemanasan yang dibutuhkan dalam proses pasteurisasi tergantung dari ketahanan mikroba terhadap panas. Namun perlu diperhatikan juga sensitivitas bahan pangan yang bersangkutan terhadap panas. Pada prinsipnya, pasteurisasi memadukan antara suhu dan lamanya waktu pemanasan yang terbaik untuk suatu bahan pangan. Pasteurisasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu metode l) Low Temperature Long Time atau disingkat LTLT dan 2) High Temperature Short Time yang disingkat HTST. Metode LTLT dilakukan pada suhu 62,8C selama 30 menit, sedangkan HTST dilakukan pada suhu 7I,7C selama 15 detik.
- Sterilisasi
![]() |
Pemasakan Air untuk Sterilisasi |
Sterilisasi merupakan salah satu cara pengolahan bahan pangan yang bersifat mengawetkan. Sterilisasi juga merupakan istilah untuk setiap proses yang menghasilkan kondisi steril dalam bahan pangan. Jadi, sterilisasi adalah cara atau langkah atau usaha yang dilakukan untuk membunuh semua mikroba yang dapat hidup dalam bahan pangan. Apabila dilihat dari kata steril maka tujuan utama dari proses sterilisasi adalah membunuh semua mikroba yang dapat hidup dalam bahan pangan. Dengan terbebasnya bahan pangan dari kehidupan semua mikroba maka diharapkan bahan pangan dapat disimpan dalam waktu yang lama.
- Pemasakan
Pemasakan dengan Cara Penggorengan |
Pemanasan bahan pangan selain dengan blanching, pasteurisasi dan sterilisasi dapat juga dilakukan dengan cara pemasakan. Pemanasan dengan cara pemasakan ini bertujuan untuk meningkatkan cita rasa atau kelezatan produk pangan. Pemasakan dapat juga dianggap sebagai salah satu cara pengawetan bahan pangan, sebab bahan pangan yang dimasak dapat ditahan dan disimpan lebih lama dari pada bahan mentahnya.
Apabila dilihat dari cara dan bentuk pemasakan, maka dapat dibedakan menjadi 3 macam cara pemasakan, yaitu:
- Pemasakan dengan menggunakan cara keying pada suhu 100C atau lebih.
- Pemasakan dengan menggunakan media air panas atau uap air pada suhu 100C atau lebih.
- Pemasakan dengan menggunakan media minyak panas pada suhu 100C atau lebih, biasa dikenal dengan istilah penggorengan.
Daftar Pustaka
Koeswardhani M, dkk. 2006. Materi Pokok Pengantar Teknologi Pangan. Buku Materi Pokok Universitas Terbuka: Jakarta.
Minggu, 19 Juni 2016
Permohonan Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) Kabupaten Tangerang
SPP-IRT atau sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga adalah izin edar yang diberikan kepada pelaku usaha rumah tangga dalam bidang produksi makanan dan minuman. Penerbitan izin P-IRT ini bertujuan untuk menjamin kualitas produk makanan dan minuman yang diedarkan di masyarakat, sehingga konsumen merasa terlindungi.
Izin P-IRT diberikan kepada perusahaan pangan (makanan dan minuman) yang melakukan proses produksi di dalam rumah (tempat tinggal) dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semi otomatis. Sertifikasi P-IRT tersebut ditujukan kepada produk-produk pangan yang memiliki daya tahan keawetan lebih dari 7 hari.
Landasan hukum SPP-IRT adalah keputusan Kepala Badan POM Nomor: HK.03.1.23.04.12.2205 tahun 2012 tentang pemberian Sertifikasi Produk Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-PIRT). Jaminan tertulis ini diterbitkan oleh Bupati/Walikota setelah pemilik IRTP (Industri Rumah Tangga Pangan) memenuhi persyaratan. SPP-IRT berlaku selaman 5 Tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi syarat.
Lampiran yang menjadi syarat pembuatan SPP-IRT di daerah Kabupaten Tangerang adalah:
- Foto Copy KTP pemohon / pemilik yang masih berlaku
- Akta pedirian perusahaan (untuk perusahaan besar)
- Surat pernyataan status bangunan (hak milik / kontrak)
- Data perusahaan makanan Industri Rumah Tangga
- Data Produk Makanan
- Peta lokasi
- Gambar Denah Bangunan
- Surat Keterangan Domisili Usaha (SKDU)
- Pas poto ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar
- Surat pernyataan akan membuat label yang memenuhi syarat
- Foto Copy Sertifikat Penyuluhan Keamanan Pangan
- Sertifikasi hasil uji Laboratorium Produk Makanan
Minggu, 29 Mei 2016
Minggu, 01 Mei 2016
Kasus Luar Biasa Keracunan Pangan
LAPORAN KERACUNAN MAKANAN DI INDONESIA
KEAMANAN DAN SANITASI PANGAN
![](file:///C:/Users/Rifafauziyyah/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.png)
AMIRAH YASMINUM S (203136540110612)
ANNDARU YAUMI FITRI (203137335157043)
DANELLA MEIRANTY (203131841295220)
FELICIA AGNES O (203134462825230)
MARCELLUS ARNOLD (203135739351647)
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS ILMU HAYATI
UNIVERSITAS
SURYA
TANGERANG
2016
ABSTRAK
Pangan
merupakan segala sesuatu yang berasal dari sumber daya hayati dan air, baik
yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman
bagi konsumsi manusia. Tidak jarang
pangan yang kita konsumsi terkontaminasi oleh mikroba atau zat kimia yang dapat
menyebabkan keracunan. Keracunan makanan sering kali disebabkan oleh proses
pengolahan makanan yang tidak tepat, meliputi proses persiapan hingga proses
penyajian. Hal ini dikarenakan pada setiap prosesnya memungkinkan terjadinya
kontaminasi silang produk pangan dengan mikroba. Untuk meminimalisir terjadinya
kasus keracunan makanan, sebaiknya dilakukan penanganan dan penyimpanan makanan
yang tepat. Kegiatan sanitasi merupakan hal penting yang perlu dilakukan untuk
mencegah terjadinya keracunan pangan, sebab tingkat keracunan makanan yang
parah dapat menyebabkan terjadinya kematian. Pencegahan terjadinya keracunan
makanan itu sendiri dapat dilakukan oleh individu maupun pemerintah.
Kata kunci: Kasus, Keracunan, Kontaminasi, Mikroba,
Sanitasi.
1.
PENDAHULUAN
Pangan merupakan
segala sesuatu yang berasal dari sumber daya hayati dan air, baik yang diolah
maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi
konsumsi manusia (Fasak, 2011). Pangan merupakan kebutuhan primer bagi manusia
untuk pertumbuhan maupun untuk bertahan hidup. Akan tetapi, apabila tidak
higienis, penyakit juga dapat timbul melalui pangan atau yang disebut dengan
keracunan pangan (foodborne disease). Setiap tahapan pengolahan pangan
memiliki risiko penyebab terjadinya keracunan pangan apabila tidak dilakukan
pengawasan secara baik dan benar (Santoso et al. 2011).
Menurut
Pusat Informasi Produk Industri Makanan dan Minuman (PIPIMM) (tanpa tahun),
keracunan pangan adalah suatu peristiwa tercemarnya pangan oleh zat-zat yang
berbahaya seperti mikroba dan zat kimia pada bahan pangan yang beracun. Keracunan
pangan terbagi menjadi dua istilah yaitu kasus keracunan pangan dan insiden
keracunan pangan. Kasus keracunan pangan adalah suatu keadaan atau kondisi
khusus dari masalah yang berhubungan dengan keracunan makanan. Sedangkan,
insiden keracunan pangan adalah kejadian-kejadian keracunan makanan yang
terjadi dalam suatu kasus keracunan pangan.
Berdasarkan
data dinas kesehatan RI (2015), jumlah kasus keracunan pangan pada 33 provinsi
di Indonesia pada tahun 2012 adalah 312 kasus dan meningkat pada tahun 2013
menjadi 233 kasus keracunan pangan. Bahkan menurut WHO setiap satu kasus
keracunan pangan yang dilaporkan maka paling tidak terdapat 99 kasus lainnya
yang tidak dilaporkan (BPOM RI, 2012). Tingginya kasus kejadian luar biasa
(KLB) keracunan pangan ini perlu menjadi perhatian. Oleh sebab itu, diperlukan
pemahaman mengenai penyebab dan dampak dari keracunan pangan, khususnya di
Indonesia.
2.
KAJIAN PUSTAKA
A. Penyebab Keracunan Pangan
Secara
garis besar, keracunan pangan dapat disebabkan oleh mikroba dan zat kimia. Mikroba
ada beberapa jenis, seperti bakteri, kapang, dan virus.
Bakteri yang
dapat menyebabkan keracunan antara lain Salmonella,
Campylobacter, Listeria, dan Escherichia
coli. Beberapa bakteri penyebab keracunan pangan seperti Bacillus cereus mampu menghasilkan racun
yang tahan terhadap proses termal. Dengan demikian bakteri ini tidak dapat
dimusnahkan melalui proses pemasakan (WHO, 2015). Menurut BPOM (2014), terdapat
tiga faktor utama yang menimbulkan KLB keracunan pangan akibat bakteri. Ketiga
faktor tersebut antara lain kontaminasi (bakteri patogen berada dalam pangan),
pertumbuhan (bakteri patogen mampu berkembang biak dalam pangan dan
menghasilkan toksin yang mampu menimbulkan infeksi atau penyakit), dan daya
hidup (bakteri patogen mampu bertahan hidup dalam kondisi tertentu dalam pangan
selama penyimpanan dan pengolahan).
Bakteri yang
menyebabkan keracunan pangan jika dalam kondisi yang tepat, bakteri dapat
berkembang biak yang awalnya satu bakteri menjadi dua juta bakteri dalam waktu
tujuh jam. Apabila dalam makanan terdapat banyak nutrisi seperti karbohidrat
dan protein, serta disimpan pada suhu 5-60oC, maka bakteri tersebut
dapat berkembang biak dengan sangat cepat. Kondisi ini sering disebut “zona
bahaya makanan”. Itulah sebabnya keracunan makanan sering terjadi pada saat
mengolah makanan di musim panas (WHO, 2015).
Mekanisme
bakteri yang menyebabkan keracunan pangan dibagi menjadi dua menurut BPOM
(2014), yaitu intoksitasi dan infeksi. Intoksikasi merupakan mekanisme
keracunan makanan melalui toksin yang dihasilkan oleh bakteri patogen pada
pangan. Jadi yang menyebabkan gejala bukan bakterinya, melainkan toksinnya.
Sebagai contoh, Bacillus cereus yang
menghasilkan toksin yang menyebabkan diare dan muntah. Toksin yang berkaitan
dengan gejala muntah bersifat tahan terhadap panas dan pemanasan berulang,
proses penggorengan pangan juga tidak mampu menghancurkan toksin tersebut.
Sementara untuk infeksi, bakteri patogen mampu menginfeksi korbannya melalui
pangan yang dikonsumsi. Penyebabnya adalah bakteri patogen yang masuk ke dalam
tubuh melalui makanan yang sudah tercemar. Contohnya adalah Salmonella yang terdapat pada bahan
pangan mentah (misalnya telur dan daging ayam mentah atau tidak matang
sempurna). Penularannya dapat melalui konsumsi pangan hewani yang terinfeksi
akibat ketiakhigienisan dan juga antara orang satu dengan orang lainnya. Gejala
yang terjadi antara lain diare, kram perut, demam selama 8-72 jam, sakit
kepala, mual, dan muntah.
Beberapa jenis bakteri patogen dan
gejala yang terjadi akibat keracunan bakteri patogen tersebut menurut Kemenentarian
Kesehatan RI (2012) dan WHO (2015) antara lain:
1.
Escherichia coli: kejang perut, pusing, mual, muntah,
diare, demam, dan nyeri otot.
2.
Salmonella sp.: kejang perut, mual, muntah, diare,
menggigil, demam, dan lemah.
3.
Shigella sp.: kejang perut, diare, menggigil,
demam, dan lemah.
4.
Campylobacter jenuni: diare berdarah, nyeri perut, demam,
sakit kepala, mual, muntah.
5.
Staphylococcus aureus: mual, muntah, kram perut, sakit
kepala, dan demam.
6.
Clostridium perfringens: mual, kram perut intens, demam, dan
muntah.
7.
Clostridium botulinum: lelah, lesu, vertigo, pandangan kabur,
mulut kering, mata sayu, kesulitan menelan dan berbicara.
8.
Listeria monocytogenous: demam, nyeri otot, mual, diare, sakit
kepala, leher kaku, linglung, hilang keseimbangan, gemetar.
Kapang juga
dapat menyebabkan penyakit (foodborne
illness). Mekanisme
kapang dalam meracuni pangan ada dua (Siagian, 2002), yaitu infeksi oleh fungi,
atau yang biasa disebut mikosis, dan keracunan yang disebabkan oleh tertelannya
metabolik beracun dari fungi, atau yang biasa disebut mikotoksikosis. Mekanisme
mikotoksikosis lebih sering tersebar melalui makanan, dibandingkan mikosis yang
melalui kulit, rambut, kuku, pakaian, atau angin. Toksin yang dihasilkan fungi
(mikotoksin) dapat menimbulkan penyakit antara lain:
Tabel 2.1. Mikotoksin yang sering
mengontaminasi makanan
Mikotoksin
|
Kapang Penghasil
|
Penyakit yang
disebabkan
|
Bahan Pangan yang
Sering Terkontaminasi
|
Aflatoksin
|
Aspergillus flavus, A.parasiticus
|
Kegagalan fungsi hati, kanker hati
|
Kacang tanah, kacang-kacangan lain, jagung serealia
|
Asam penisilat
|
Penicillium Cyclopium, P.
chraceus, P. Melleus
|
Pembentukan tumor, kerusakan ginjal
|
Jagung, barley, kacang-kacangan
|
Ergotoksin
|
Claviceps purpurea
|
Kerusakan hati
|
Serealia
|
Okratoksin A
|
A. ochraceus, A. Mellus, A. sulphureus, P. viridicatum
|
Kerusakan hati
|
Jagung, barley, kacang-kacangan
|
Patulin
|
A. clavatus, P. patulum, P. Expansum
|
Kerusakan hati, Kanker hati
|
Apel dan produk-produk apel (cider dan saus apel)
|
Alimentary Toxic aleukia
|
Cladosporium spp., Penicilium, Fusarium, Mucor, Alternaria
|
Sirosis hati, kanker hati
|
Biji-bijian
|
Sterigmatosistin
|
A. regulosus, A. Nidulans, A. Versicolor, P. Luteum
|
Sirosis hati, kanker hati
|
Gandum, oat
|
Zearalenon
|
Gibberella zeae (Fusarium graminearum)
|
Kerusakan hati
|
Jagung dan serealia
|
Luteoskyrin
|
P. islandicum
|
Nekrosis hati, kanker hati
|
Tepung beras
|
Sumber:
Siagian, 2002
Selain kapang
dan bakteri, virus dapat menyebabkan terjadinya keracunan pangan. Gangguan
pencernaan yang disebabkan virus memiliki ciri-ciri yang kurang lebih sama
dengan gangguan pencernaan yang disebabkan bakteri. Virus dapat menyebabkan
gangguan pencernaan melalui aerosol atau kontak langsung dengan orang yang
terinfeksi. Contohnya adalah Enterovirus
yang menyebar melalui rute fekal-oral, atau virus polio yang dapat menyebabkan
gangguan pecernaan, demam, dan kelumpuhan, dan virus hepatitis B yang tersebar
melalui kontak langsung dan transfusi darah (Siagian, 2002).
Kontaminasi
bahan kimia pada pangan juga bisa terjadi. Menurut FDA (2014), kontaminasi
makanan dapat disebabkan oleh bahan kimia seperti benzena, dioksin, etil
karbamat, melamin, perkolat, furan, dll.
B. Sumber Mikroorganisme Patogen
Bahan
pangan potensial berbagai sumber mikroorganisme patogen dapat dilihat pada
tabel 2.2.
Tabel 2.2. Mikroorganisme patogen dan
sumber bahan pangannya
Mikroorganisme
|
Bahan pangan
|
Salmonella
|
Daging ternak dan daging unggas mentah, susu segar dan telur
|
Clostridium perfringens
|
Daging ternak dan daging unggas, makanan kering, herbs,
rempah-rempah,sayur-sayur
|
Staphylococcus aureus
|
Makanan dingin, produk-produk susu terutama jika menggunakan bahan baku
susu mentah
|
Bacillus cereus dan Bacillus sp.
|
Serealia, makanan kering, produk-produk susu,daging dan produk-produk
daging, herbal, rempah-rempah, sayuran
|
Escherichia coli
|
Bahan pangan mentah
|
Vibrio parahaemolyticus
|
Ikan segar dan ikan olahan, kerang dan makanan laut lainnya
|
Shigella
|
Makanan campuran dan basah, susu, kacang-kacangan, kentang, tuna, undang,
kalkun, salad, makaroni, cider apel
|
Streptococcus pyogenes
|
Susu, es krim, telur, lobster, salad kentang, salad telur, custard,
puding, dan makanan yang mengandung telur
|
Clostridium botulinum
|
Makanan kaleng dengan pH>4,6
|
Yersinia enterocolitica
|
Daging ternak dan unggas mentah,produk olahan daging, susu dan produk
susu dan sayur-sayuran
|
Campylobacter jejuni
|
Daging ternak dan daging unggas mentah, susu segar atau susu yang diolah
tetapi pemanasannya kurang, air yang tidak diolah
|
Listeria monocytogenes
|
Daging ternak, daging unggas, produk susu, sayur-sayuran dan kerang-kerangan
|
Virus
|
Kerang mentah, makanan dingin yang ditangani oleh orang yang terkena
infeksi
|
Sumber:
Siagian, 2002
3.
PEMBAHASAN
Handoyo (2014) menyebutkan bahwa pada
tahun 2013 penyebab kejadian luar biasa (KLB)
keracunan pangan di Indonesia berasal dari beberapa hal diantaranya
adalah berasal dari masakan rumah tangga mencapai 27,38% (23 kejadian), pangan jasa boga sebesar 16,67% (8 kejadian), pangan olahan sebesar 14,38% (7 kejadian), pangan jajanan sebesar 16,67% (8 kejadian), serat tidak diketahui sumber
penyebabnya sebesar 4,17% (2 kejadian). Menurut
Sentra Informasi Keracunan Nasional, kasus kematian akibat keracunan pangan pada tahun 2014 sebanyak 855 kasus.
Jumlah kasus keracunan pangan yang
tercatat ini tidaklah menunjukkan data rill dari kasus keracunan pangan. Hal
ini dikarenakan masih terdapat kasus-kasus kecil keracunan pangan yang tidak
dilaporkan dan tidak diketahui oleh dinas kesehatan.
Terjadinya kasus keracunan pangan pada
umumnya diakibatkan oleh proses pengolahan makanan yang tidak tepat. Selain
proses pemasakan, proses persiapan, penyimpanan dan penyajian makanan juga
dapat menyebabkan terjadinya keracunan makanan dikarenakan adanya kemungkinan
mengalami kontaminasi silang pada makanan. Contohnya adalah makanan yang sudah
matang disimpan atau bersentuhan dengan bahan mentah ataupun peralatan yang
telah terkontaminasi. Oleh karena hal tersebut, penanganan dan penyimpanan
makanan harus dilakukan dengan benar untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya
kontaminasi seperti tumbuhnya bakteri yang dapat menghasilkan racun. Selain itu, FDA (2014) menyebutkan
bahwa kontaminasi makanan dapat disebabkan oleh bahan kimia seperti benzena,
dioksin, etil karbamat, melamin, perkolat, furan, dll.
Selain berasal dari makanan, keracunan
makanan dapat disebabkan oleh obat-obatan hal ini dikarenakan pemberian dosis
yang tidak tepat atau salah dalam penggunaannya akan menjadikan obat sebagai
racun pada tubuh (Aryagunawan, 2013). Keracunan pangan banyak terjadi pada
orang dewasa lanjut usia serta pada anak-anak karena memiliki daya tahan tubuh
yang lebih rendah atau rentan dan akan memberikan efek yang parah jika terjadi
pada lansia yang berusia di atas 65 tahun ataupun bayi.
Kasus keracunan pangan pada umumnya
terjadi ketika makanan diproses dalam jumlah besar, seperti makanan untuk pesta
yang disediakan oleh katering (Depkes RI, 2010). Hal ini dikarenakan penyediaan
makanan dalam jumlah yang besar memerlukan proses pemasakan yang lebih, namun
sering kali hal ini diabaikan dan tidak mendapatkan perhatian yang cukup
sehingga makanan tidak matang sempurna, padahal proses pemasakan yang tidak
baik menjadi salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keracunan
pangan. Terdapat dua tipe kasus terjadinya keracunan makanan yaitu common
source outbreak dan common source epidemic. Kasus
keracunan tipe common source outbreak adalah
kasus keracunan yang terjadi akibat keracunan oleh satu sumber makanan yang
dominan, sedangkan common source epidemic
adalah kasus keracunan yang penularannya terjadi kepada suatu
kelompok secara menyeluruh dalam waktu
yang relatif singkat.
Kasus keracunan makanan yang disebabkan
oleh bakteri pada umumnya terjadi melalui mekanisme infeksi yaitu bakteri
tersebut masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang telah tercemar. Misalkan
pada es buah yang umumnya mengandung bakteri Salmonella enteritidis dan bakteri Klebsiella
pneumonia. Contoh
lain adalah suwiran daging pada sup
mengandung bakteri Enterobacter hafniae dan jamur Rhizopus sp. Bakteri lain yang memungkinkan
terjadinya keracunan makanan adalah Bacillus cereus atau
Staphylococcus aureus. Pada umumnya mekanisme terjadinya keracunan
makanan oleh bakteri Bacillus cereus adalah melalui intoksikasi yaitu toksin yang dihasilkan
oleh bakteri yang masuk ke dalam tubuh sehingga menyebabkan diare dan muntah.
Menurut
Abbas (2013) dalam jurnal keperawatan menyatakan bahwa pertolongan pertama
keracunan minimal dalam keluarga yang dapat dilakukan diantaranya yaitu
pemberian obat anti diare dan obat ketika diare dan muntah, memberikan cairan
rehidrasi jika diare dan muntah melebihi 24 jam, menjaga jalan nafas bagi
penderita sehingga cukup nyaman untuk bernafas. Tindakan lain adalah
pemanggilan ambulance dan jika darurat lakukan evakuasi ke rumah sakit.
Sedangkan sumber dari Mayo Foundation for
Medical Education and Research (MFMER) menyatakan pertolongan pertama jika
terjadi keracunan makanan terjadi yang harus dilakukan adalah meminum air putih
sebanyak-banyaknya. Obat anti diare sebaiknya dihindari terutama bayi dan
anak-anak karena dapat memperlambat eleminasi organisme atau racun-racun dalam
tubuh sehingga sebaiknya sesegera diperiksa ke dokter kurang dari 48 jam
setelah keracunan.
Menurut Pratiknjo
(2007) mengenai keracunan pangan, proses pencegahan dilakukan dari dua aspek,
yaitu individu diri sendiri serta pemerintah. Kesadaran masyarakat akan
pentingnya mencegah penyakit dan keracunan sangat penting. Proses pencegahan
keracunan makanan yang dinjurkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk
setiap individu yaitu:
1.
Mencuci
tangan dengan bersih ketika hendak mengolah dan menyantap makanan.
2.
Menghindari
kontak bahan mentah dengan makanan matang untuk mengurangi kontaminasi.
3.
Melakukan
pemasakan sampai matang sehingga organisme patogen dalam makanan telah mati.
4.
Menkonsumsi
segera makanan yang sudah dimasak. Hal ini dikarenakan apabila makanan
diletakan pada suhu ruang makan mikrobia akan berkembang lebih cepat.
5.
Menyimpan
makanan dalam kondisi dingin untuk mencegah pertumbuhan dan terjadinya
kontaminasi patogen.
6.
Jika
makanan yang telah dikonsumsi masih tersisa, panaskan kembali makanan tersebut
untuk mematikan mikroba yang tumbuh selama penyimpanan.
7.
Menjaga
kebersihan lingkungan seperti dapur, piring dan peralatan memasak yang akan
digunakan.
Beberapa kejadian
keracunan makanan di Indonesia menunjukan bahwa masyarakat Indonesia kurang
selektif dalam memilih makanan. Daya kontrol yang lemah dari masyarakat serta
pengawasan yang kurang ketat dari pemerintah juga menjadi faktor pendukung terjadinya keracunan makanan di Indonesia.
Selain itu, menurut Celina (2008) pencegahan dari masing-masing individu, pemerintah juga
harus membantu mengurangi angka keracunan di Indonesia dengan beberapa upaya
pencegahan diantaranya:
1.
Adanya
upaya perlindungan konsumen secara medis dan yuridis.
2.
Adanya
peningkatan wawasan dan pendidikan melalui penyuluhan untuk menghimbau
masyarakat agar tidak membeli produk kadaluarsa atau produk dengan kemasan yang
sudah rusak.
3.
Menguji
produk makanan kemasan secara laboratoris oleh pabrik dan Direktorat Pengawasan
Obat dan Makanan (POM). Badan POM harus rutin dan aktif terutama bagi produk
yang tidak ada registernya Melalui media yang ada seperti media massa atau
cetak, pemerintah perlu memberikan informasi kepada masyarakat mengenai
ciri-ciri makanan yang sudah tidak layak dikonsumsi.
4.
Memberikan
pos pelayanan untuk penanganan kasus keracunan, tugas pos ini untuk
menginformasikan pengenalan dan identifikasi serta faktor penyebab keracunan.
Adanya penyuluhan-penyuluhan mengenai upaya pertolongan pertama dan dampak
negatif jika menggunakan beragam bahan kimia pada makanan.
Dalam hal menjamin
keamanan pangan, pihak yang bertanggung jawab adalah masyarakat, para pelaku
usaha dibidang makanan dan pemerintah yang berhak atas wewenangnya. Hal ini
dikarenakan pada ruang lingkup keluarga, para orang tua harus menjamin anak-anaknya
terjamin keamanan produk makanan yang dikonsumsi. Mengajarkan pola perilaku
yang benar untuk mengolah dan menyimpan bahan pangan atau makanan matang. Bagi
para pelaku usaha dibidang makanan, terdapat beberapa kewajiban yang diatur
dalam pasal 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen,
diantaranya yaitu:
1.
Beritikad
baik
2.
Memberi
informasi yang jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan produk yang dijual
3.
Melayani
konsumen dengan tidak diskriminatif
4.
Mutu
barang yang diproduksi berdasarkan standar mutu yang berlaku
5.
Memberikan
kesempatan pada konsumen untuk menguji produk yang diperdagangkan
6.
Memberi
kompensasi, ganti rugi dan ganti rugi jika tidak sesuai kualitas. Dalam hal ini
jika terjadi penurunan kualitas mutu makanan dan menyebabkan dampak negatif.
Namun apabila terjadi
proses penyimpanan atau pengolahan yang salah dari individu sendiri, maka
keracunan tersebut bukanlah salah penjual atau pelaku usaha. Contohnya ketika
proses penyimpanan opor dalam kondisi yang tidak baik saat dikonsumsi, maka
penjual ayam dan santan bukanlah hal yang bertanggung jawab. Pemerintah juga
turut bertanggung jawab dalam menjamin keamanan pangan dibawah Dinas
Perindustrian, Perdagangan dan BPOM. Contohnya pengawasan dalam izin pendirian
usaha dan kontrol dalam pengawasan barang kadaluarsa atau tidak layak.
4.
KESIMPULAN
Kasus keracunan makanan di
Indonesia masih banyak sekali terjadi dan tidak semua kasus itu dilaporkan dan
tercatat oleh dinas kesehatan. Keracunan makanan sering kali disebabkan oleh proses
pengolahan makanan yang tidak tepat. Proses pengolahan makanan tersebut
meliputi proses persiapan hingga proses penyajian. Hal ini dikarenakan pada setiap
prosesnya memungkinkan terjadinya kontaminasi silang produk makanan dengan
mikroba (bakteri). Penanganan dan penyimpanan makanan yang baik dan benar akan
meminimalkan kemungkinan terjadinya keracunan makanan. Proses pencegahan
keracunan makanan dapat dilakukan oleh individu dan pemerintah. Kegiatan
sanitasi menjadi hal penting yang perlu dilakukan untuk mencegah keracunan
pangan, sebab tingkat keracunan yang parah dapat menyebabkan terjadinya
kematian.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas A. 2013. Home first aid applied by the
mother for the treatment of food poisoning for children. Journal of Nursing 3
(2013) 1-6 498.
Aryagunawan G. 2013. Intoksikasi Racun. Universitas
Diponegoro.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2012.
Laporan Tahunan 2012 Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Jakarta: BPOM RI.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2014.
Keracunan Pangan Akibat Bakteri Patogen.
http://ik.pom.go.id/v2014/artikel/Keracunan-Pangan-Akibat-Bakteri-Patogen3.pdf
[19 April 2016].
Celina TSK.
2008.
Hukum Perlindungan Konsumen.
Cetakan Pertama.
Sinar Grafika.
Jakarta
Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Pedoman Pengamatan dan Penanggulangan
Kejadian Luar Biasa di Indonesia. Ditjen PPM & PLP: Jakarta.
Dinas Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Menyambut Hari
Kesehatan Sedunia 2015: Pilih dan Konsumsi Pangan yang Aman dan Sehat.
http://www.diskes.baliprov.go.id/files/subdomain/diskes/Artikel/ARTIKEL%20HKS%202015.pdf
[25 April 2016].
Fasak E. 2011. Diversifikasi Konsumsi Pangan
Berbasis Potensi Lokal Dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional di Kecamatan
Bola, Kabupaten Sikka, Propinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2010. Universitas
Atma Jaya Yogyakarta.
Handoyo A. 2014. Studi Kasus Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan
di Desa Jembungan Kecamatan Banyudono Boyolali [Naskah Publikasi]. Surakarta:
Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
PIPIMM. Tanpa tahun. Pedoman Konsumen mengenai Pangan dan
Keamanan Pangan Edisi 1, Jilid 1. PIPIMM. Jakarta.
Pratiknjo L. 2007. Keracunan
Makanan Merupakan Salah Satu Indikator Lemahnya Kontrol Pemerintah dan
Masyarakat Terhadap Produk Makanan yang Beredar. Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Vol 1 (2) hlm. 30 – 34. http://fk.uwks.ac.id/jurnal/daftar_edisi [19
Apil 2016].
Santoso H. et al. 2011. Buku Pedoman Penyelidikan dan
Penanggulangan KLB Penyakit Menular dan Keracunan Pangan (Pedoman Epidemiologi
Penyakit) Edisi Revisi Tahun 2011 H Santoso, RB Hapsari, AM Nasir, ed.,
Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Badan POM. 2014. Sentra Informasi Keracunan (SIKer) Nasional.
http://ik.pom.go.id/v2015/ [19 April 2016].
Siagian A. 2002. Mikroba Patogen pada Makanan dan Sumber
Pencemarannya. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera
Utara.
US Food and Drug Administration. 2014. Chemical
Contaminants.
http://www.fda.gov/Food/FoodborneIllnessContaminants/ChemicalContaminants/default.htm
[19 April 2016].
World Health Organization. 2015. Penyakit Akibat
Keracunan Makanan.
http://www.searo.who.int/indonesia/publications/foodborne_illnesses-id_03272015.pdf
[19 April 2016].
Langganan:
Postingan (Atom)